Skip to document

Makalah Masyarakat Konsumsi

Makalah
Course

Teori Sosiologi Modern (SPS2201)

7 Documents
Students shared 7 documents in this course
Academic year: 2020/2021
Uploaded by:
Anonymous Student
This document has been uploaded by a student, just like you, who decided to remain anonymous.
Universitas Riau

Comments

Please sign in or register to post comments.

Preview text

MASYARAKAT KONSUMSI

(Teori Jean Baudrillard) Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Sosiologi Modren

Dosen Pengampu :

Disusun oleh:

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS RIAU

2022

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kemampuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Masyarakat Konsumsi”. Penulis menyadari bahwa penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari motivasi dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu, terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu T. Romi Marnelly, S, M selaku dosen pembimbing mata kuliah Teori Sosiologi Modren.

Semoga kebaikan yang telah ibu berikan dibalas oleh Allah Swt. Penulis telah berusaha menyelesaikan makalah ini sesuai dengan ilmu dan pengetahuan yang penulis peroleh. Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama dalam kemajuan dunia pendidikan,.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi sistematika penulisan maupun dari segi penyajian. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca. Atas perhatian, saran dan kritikan dari pembaca penulis ucapkan terima kasih.

Perawang , 20 Juni 2022

Penulis

dalamnya terdapat simbol-simbol sosial yang memuat status, prestise yang membentuk personalisasi diri dipertukarkan diantara anggota masyarakat. Dunia konsumsi saat ini menawarkan kebutuhan baru agar individu mengkonsumsinya. Salah seorang tokoh pemikir postmodernisme yang consent mengkaji masyarakat konsumerisme yakni Jean Baudrillard mengatakan bahwa konsumerisme sebagai anak kandung kapitalisme telah merangsek sampai ke jantung masyarakat. Hal ini akan berdampak pada perilaku konsumerisme, dimana setiap manusia cenderung menikmati barang dan membeli dalam jumlah banyak tanpa memikirkan nilai guna. Budaya konsumerisme ini membuat masyarakat mengkonsumsi sesuatu karena keinginan bukan karena kebutuhannya. Dulu manusia berhak membeli pilihannya secara efisien. Tetapi ketika budaya konsumerisme ini berkembang, manusia seakan-akan kalap atas apa yang ia beli karena dengan hal ini yang akan membuat masyarakat lebih percaya diri dan memiliki nilai yang tinggi dihadapan masyarakat lain perilaku konsumerisme, konsumsi menjadi sebuah panggung sosial, yang didalamnya memiliki makna-makna sosial, yang dimana terjadi konflik posisi sosial di antara anggota-anggota masyarakat yang terlibat. Perilaku konsumerisme ini berkembang di mana produk-produk konsumer merupakan medium untuk pembentukan personalitas, gaya, citra, gaya hidup, dan cara diferensiasi status social yang berbeda-beda. Fenomena Kehadiran berbagai pusat perbelanjaan mulai dari kelas lokal, nasional, sampai kelas internasional tidak saja berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, tetapi juga berdampak pada perubahan perilaku konsumen keluarga dan masyarakat perkotaan. Perubahan budaya konsumen ini merupakan suatu konsekuensi logis dari tuntutan kehidupan yang dipicu oleh lingkungan perkotaan yang menyediakan sarana perbelanjaan kelas modern. Hal ini tentunya akan mendorong orang untuk pergi ke pusat-pusat perbelanjaan dan perilaku mereka cenderung membeli barang dan makanan sesuai dengan keinginan.

BAB II

PEMBAHASAN

MASYARAKAT KONSUMSI

Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang berperadaban secara natural,sehingga disebut sebagai homososius (hewan yang bersosial). Hal itu menunjukkan bahwa manusia tidak dapat hidup individual, akan tetapi butuh sosialisasi, interaksi, dan bekerja sama dengan individu lainnya. Maka terbentuklah suatu masyarakat, dimana beberapa individu bersatu menjadi suatu kelompok yang terikat dengan ikatan tertentu (Qardhawy, 1999: 1-2). Sehingga setiap individu sebagai anggota sangat berperan dalam kemajuan dan eksistensi suatu masyarakat. Perkembangan serta perubahan ilmu dan teknologi di berbagai bidang merupakan bukti eksistensi masyarakat. Hal itu di satu sisi menjadi bukti kemajuan masyarakat, karena semua urusan dan akses lebih mudah serta cepat. Namun di lain pihak kemajuan tersebut juga berdampak pada munculnya berbagai problem budaya, ekonomi sampai gaya hidup. Budaya dan gaya hidup masyarakat mengalami perubahan, bahkan kemajuan teknologi tersebut menuntut individu dari masyarakat melakukan adaptasi terhadap berbagai perubahan tersebut (Khalim, 2010: 39-40). Kondisi tersebut berdampak pada munculnya masyarakat konsumsi. Secara leksikal, masyarakat konsumsi terdiri dari dua kata yaitu masyarakat dan konsumsi. Sebelum membahas tentang konsep masyarakat konsumsi, perlu ditelusuri dari segi bahasa. Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia adalah berkembangnya berbagai gaya hidup yang dijadikan fungsi dari diferent social yang tercipta dari relasi konsumsi. Atas perubahan ini konsumsi tidak hanya sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia tertentu, akan tetapi kini berkaitan dengan unsur-unsur simbol untuk menandai status, nilai sosial, atau citra social yang didapatkan. Konsumsi seakan-akan mengekspresikan dikalangan sosial dan identitas kultural seseorang di dalam masyarakat.

A. Landasan Teori

  1. Definisi Masyarakat

Menurut Baudrillard masyarakat konsumsi merupakan masyarakat yang mengkonsumsi bukan hanya barang, namun juga jasa manusia dan hubungannya dengan manusia. Maksudnya orang tidak pernah mengkonsumsi objek itu sendiri dalam nilai gunanya, tetapi objek selalu dimanipulasi sebagai tanda yang membedakan status antara individu dengan yang lain. Proses diferensiasi status merupakan proses fundamental yang terjadi dalam masyarakat, sehingga menciptakan perbedaan taraf kehidupan, persaingan status, dan tingkat- tingkat prestise. Kelahiran nilai tanda tersebut diikuti oleh nilai simbol, sehingga aktivitas konsumsi pada dasarnya bukan dilakukan karena kebutuhan, namun lebih kepada alasan simbolis: kehormatan, status, dan prestise. Lebih jauh dalam pandangan masyarakat konsumsi, nilai simbol menjadi motif utama aktivitas konsumsi. Objek komoditas dibeli karena makna simbolik yang ada di dalamnya, bukan karena nilai guna atau manfaatnya. Konsumen menginternalisasi kegiatan konsumsi, kemudian mengubah pengalaman mereka ke dalam semua aktifitas manusia lainnya dan beberapa aspek eksistensi sosial. Fenomena masyarakat konsumsi tercipta di bawah aturan kapitalisme global, dimana masyarakat sebagai konsumen tidak mampu mengelak dari belenggu tersebut. Globalisasi serta kapitalisme global identik dengan kemajuan dan perubahan. Namun kemajuan tersebut tidak secara total berdampak positif, tetapi justru dapat memunculkan budaya konsumtif dan hedonisme yang menjadikan masyarakat sebagai hamba dari produksi kemajuan global. Itu membuktikan bahwa konsumsi telah terkonstruksi dalam rasionalitas masyarakat, bahkan konseptualisasi konsumen mengenai diri dan dunia dipengaruhi serta dibentuk oleh konsumsi. Menurut Baudrillard konsumsi dapat dipandang sebagai dimensi keselamatan. Hal ini berangkat dari fenomena sosial, bahwa masyarakat selalu mendambakan kebahagiaan serta kenyamanan demi tujuan keselamatan hidupnya. Dari tinjauan aspek ekonomi, keselamatan serta rasa nyaman akan hadir dalam masyarakat mapan dengan ukuran melimpahruahnya barang produksi dan kemudahan untuk mengakses semua yang dibutuhkan. Hal itu berkaitan dengan ekonomi kapitalis barat yang menjadikan konsumsi sebagai faktor produksi. Sehingga mendorong munculnya keyakinan bahwa melimpahruahnya barang produksi merupakan syarat terwujudnya masyarakat makmur. Kemudian timbul upaya di setiap wilayah diciptakan globalisasi pasar, dengan maraknya supermarket, minimarket dan mall di berbagai kota. Konsumen

dimanjakan dan dimudahkan dengan adanya lokasi yang mana di dalamnya segala kebutuhan terpenuhi. Fenomena tersebut ternyata tidak selalu menghasilkan terciptanya kemakmuran di tengah masyarakat. Akan tetapi di sisi lain justru menciptakan kesenjangan sosial yang semakin luas, pendangkalan tujuan serta makna hidup memicu perilaku konsumtif yang anti sosial. Sebagaimana yang dikemukakan Baudrillard bahwa masyarakat konsumsi identik dengan masyarakat pertumbuhan menuju kemakmuran, yang dalam prosesnya merupakan lingkaran setan pertumbuhan karena pemborosan menjadi suatu kewajaran. Konsumsi tidak lagi dinilai lagi secara fungsi, tapi diambil alih oleh simbol yang telah melewati proses simulasi sehingga mengaburkan fungsi itu sendiri. Sehingga yang terjadi adalah tidak adanya timbal balik dalam hubungan sosial sosial bukan lagi karena kebutuhan (nilai fungsi) melainkan diganti pertukaran simbolik (status atau identitas). Pemborosan pada awalnya merupakan bentuk perbuatan setan atau sia-sia, namun dalam masyarakat modern pemborosan menjadi logis. Karena hal itu sebagai penyeimbang kesenjangan sosial antara kelas dominan dengan kelas bawah. Orang hanya cukup berpenampilan mewah orang akan dipersepsikan kaya oleh sosial. Persepsi agar dapat disebut intelektual, cukup dengan melakukan konsumsi istilah ilmiah dalam berbicara. Berbusana muslim serta berbicara dengan dalil bahasa arab, cukup sebagai modal agar disebut ustadz. Itulah yang disebut kemiskinan struktural, suatu usaha pemenuhan kebutuhan simbolik atau atribut terus menerus agar diterima di lingkungan masyarakat. Akhirnya pemiskinan dengan pemborosan sebagai hal yang logis dilakukan agar kita diterima sosial. Kebahagiaan serta keinginan agar diterima masyarakat merupakan kecenderungan alamiah manusia. Persoalannya bagi Baudrillard adalah bahwa kekuatan ideologi dan pengertian dasar tentang kebahagiaan pada masa modern sebenarnya tidak datang dari kecenderungan alamiah, melainkan lahir dari sosio- historis karena kebahagiaan adalah kesamaan hak dan kebebasan bagi setiap orang. Sehingga kebahagiaan harus terukur di tengah masyarakat. Analisis Baudrillard tentang mitos kebahagiaan berangkat dari pengamatannya terhadap dampak kekerasan politik dan sosiologis masyarakat modern akibat Revolusi Industri dan revolusi-revolusi abad XIX, menyebabkan perhatian masyarakat terfokus pada usaha mencapai kebahagiaan. Pandangan masyarakat modern sebagaimana pengaruh positivisme, kebahagiaan sering disejajarkan dengan kemapanan yang dapat diukur dengan objek dan tanda kenyamanan. Kebahagiaan sebagai kenikmatan total

berpakaian dan mengenakan aksesoris yang sesuai dengan fashion dan mode yang sedang berlaku saat ini. Hampir semua pengunjung memiliki telepon genggam serta kebanyakan dari pengunjung tersebut lebih memilih fast food (yang dianggap lebih bergengsi) daripada makanan tradisional khas Indonesia. Barang elektronik, fast food, pakaian bermerek, dan lain-lain, sepertinya kini jadi sebuah kebutuhan primer yang tidak dapat di tinggalkan dan masyarakat tidak lagi membeli suatu barang berdasarkan skala prioritas kebutuhan dan kegunaan tetapi lebih di dasarkan pada prestise, gengsi, dan gaya. Masyarakat datang ke mall tidak sekedar berbelanja kebutuhan rumah tangga, tetapi mereka pun bisa makan direstoran yang ada di mall tersebut, membeli pakaian brand luar maupun local, tempat untuk diadakannya pertemuan, meeting, kumpul keluarga atau teman-teman, dan bahkan untuk mengajak anak-anak ke pusat permainan seperti play ground atau timezone. Tidak hanya berbelanja, masyarakat yang berkunjung ke mall pun terkadang hanya sekedar cuci mata juga melihat-lihat saja tanpa membeli apapun. Jadi bisa dibilang mall itu pusatnya orang untuk bersenang-senang kemajuan ekonomi dan meningkatnya daya konsumsi adalah terjadinya perubahan mendasar pada relasi sosial sebagai fungsi dari kepemilikan objekobjek. Manusia masa kini tidak lagi di kelilingi oleh manusia- manusia lain seperti pada masa lalu, melainkan oleh objek-objek. Relasi sosial sehari- hari mereka tidak lagi berhenti sebagai relasi di antara sesama manusia, melainkan sebagai fungsi dari pemilikan dan penggunaan benda-benda dan gaya hidup. Berbagai cara telah dilakukan oleh hypermarket tersebut, contohnya mengadakan harga diskon pada item produk. Ini yang membuat masyarakat terus berperilaku konsumtif dan memenuhi kepuasan. Perilaku konsumtif ini akan terus ada dan akan mengakar ke gaya hidup. Sedangkan gaya hidup itu harus ditunjang dengan financial yang memadai. Dan akhirnya perilaku konsumtif ini tidak berdampak pada ekonomi saja tetapi juga akan berdampak pada kehidupan social. Masalah gaya hidup, dengan stylisasi kehidupan, menegaskan praktik-praktik konsumsi, perencanaan, purchase dan pertunjuan benda-benda dan pengalaman konsumen dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipahami sekedar dengan berbagai konsepsi tentang nilai tukar dan kalkulasi rasional instrumental menggunakan teori konsumerisme Jean Baudrillard. Karena melihat rasionalitas konsumsi dalam masyarakat konsumen telah berubah, karena saat ini masyarakat membeli barang bukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan (needs) namun lebih sebagai

pemenuhan hasrat (desire). Masyarakat konsumsi akan ”membeli” simbol-simbol yang melekat pada suatu objek, sehingga objek-objek konsumsi banyak yang terkikis nilai guna dan nilai tukarnya. Nilai simbolis kemudian menjadi sebuah komoditas. Untuk menjadi objek konsumsi, objek harus menjadi tanda, karena hanya dengan cara demikian, objek tersebut dapat dipersonalisasi dan dapat di konsumsi barang atau pun jasa saat ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan saja. Mengacu kepada Baudrillard, konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli sesuatu karena kebutuhannya ataupun karena fungsi dari barang atau jasa yang dikonsumsi tersebut, melainkan adanya suatu pemaknaan terhadap suatu objek yang membuat objek tersebut menjadi suatu sistem berupa tanda atau kode, bahasa, dan moral. Hal ini menyebabkan terjadinya individualisme dan pengekangan individu tersebut secara bawah sadar baik dari sistem tanda, sistem ekonomi, sosial, politik, dan budaya individu dipaksa untuk menggunakan sifat-sifat yang sudah diciptakan oleh struktur yang berada di luar manusia yang berupa fenomena kolektif dan moralitas yang berada dalam segala sistem tanda yang dikodekan. Baudrillard mengatakan bahwa manusia akan selalu berada di bawah bayang-bayang konsumerisme karena manusia selalu dipaksa untuk melakukan interaksi secara konsumtif yang bukan dari dirinya sendiri melainkan dari keadaan sosial yang memaksanya, sehingga sangatlah sulit untuk memisahkan manusia dari budaya konsumerisme. Baudrillah merupakan salah satu tokoh konsumerisme yang menyimpulkan bahwa konsumsilah yang menjadi inti dari ekonomi, bukan lagi produksi. Konsumsi menurut baudrillard memegang peranan penting dalam hidup manusia. Konsumsi membuat manusia tidak mencari kebahagiaan, tidak berusaha mendapatkan persamaan, dan tidak adanya intensitas untuk melakukan homogenisasi, manusia justru melakukan diferensiasi (perbedaan) yang menjadi acuan dalam gaya hidup dan nilai, bukan kebutuhan ekonomi. Hal inilah yang terjadi pada masyarakat kita saat ini. masyarakat seperti ini disebut baudrillard sebagai mayarakat konsumeris. Baudrillard adalah seorang filsuf postmodern, yang mencoba menganalisis masyarakat konsumeris dalam relasinya dengan sistem tanda. Menurutnya, tanda menjadi salah satu elemen penting dalam masyarakat konsumeris saat ini. baudrillard menyatakan bahwa konsumsi yang terjadi sekarang ini telah menjadi konsumsi tanda. Tindakan konsumsi suatu barang dan jasa tidak lagi berdasarkan kegunaannya melainkan lebih mengutamakan pada tanda dan simbol yang melekat pada barang itu sendiri. Masyarakat pun pada akhirnya hanya mengkonsumsi citra yang melekat pada

BAB III

KESIMPULAN

Masyarakat sekarang tidak lagi mengonsumsi sebuah objek berdasarkan kegunaan dan nilai tukarnya, tetapi karena adanya nilai simbolik dan nilai yang bersifat abstrak. sebuah objek tidak hanya memiliki use value dan exchange value, tetapi juga memiliki symbolic value dan sign value. yang dikonsumsi oleh masyarakat konsumeris (consumer society) bukanlah kegunaan dari suatu produk melainkan citra atau pesan yang disampaikan dari suatu produk. Tindakan konsumsi suatu barang dan jasa tidak lagi berdasarkan pada kegunaannya, melainkan lebih menguatamakan tanda dan simbol yang melekat pada barang dan jasa itu sendiri. Masyarakat akhirnya hanya mengonsumsi citra yang melekat pada barang (bukan lagi pada kegunaannya), sehingga masyarakat sebagai konsumen tidak pernah merasa puas. Dan akan memicu terjadinya konsumsi secara terus meneurs, karena kehidupan sehari-hari setiap individu dapat terlihat dari kegiatan konsumsinya. Barang dan jasa yang dibeli dan dipakai oleh setiap individu, yang juga didasarkan pada citra yang diberikan dari produk.

DAFTAR PUSTAKA

sosiologi/2020/08/teori-jean-baudrillard-contoh-masyarakat- konsumtif eprints.walisongo/id/eprint eprints.binadarma/ Mike Featherstone, Postmodernisme Budaya dan Konsumen, hlm. 204 Jurnal Rabia Jamil dan Ambo Upe, op, hlm 518 Mike Featherstone, Postmodernisme Budaya dan Konsumen, (Yogyakarta: Pelajar Pustaka), 2008, hlm. 204 Jurnal Rabia Jamil dan Ambo Upe, hlm. 519 Jurnal Rabia Jamil dan Ambo Upe, hlm. 519 Yasraf Amir Piliang, Hiper-realitas Kebudayaan, (Bandung:Mizan), 2007, hlm. Mutia Hastiti, Masyarakat Konsumeris Menurut Konsep Pemikiran J. Baudrillard, FIB UI, 2013. Hlm. 3 Alfira Astari dan Selu M K, Fenomena Masyarakat Konsumen Pada Era Kontemporer Analisis Filosofis J, FIB UI, 2013, hlm. 4 Alfira Astari dan Selu M K, Fenomena Masyarakat Konsumsi Pada Era Kontemporer Analisis Filosofis J. Baudrillard, hlm. 4 Mutia Hastiti, Masyarakat Konsumeris Menurut Konsep Pemikiran J. Baudrillard, Hlm.

Was this document helpful?

Makalah Masyarakat Konsumsi

Course: Teori Sosiologi Modern (SPS2201)

7 Documents
Students shared 7 documents in this course

University: Universitas Riau

Was this document helpful?
MASYARAKAT KONSUMSI
(Teori Jean Baudrillard)
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Sosiologi Modren
Dosen Pengampu :
Disusun oleh:
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2022